Gandhi

By Admin


Oleh: Makmur Gazali  

nusakini.com - ”Cahaya itu telah hilang. Kita mengalami masa yang demikian suram”, suara Nehru bergetar di sela lirih isak tangis kecilnya. Tahun 1948 memang tahun yang muram bagi negeri dengan sejarah kebudayaan yang mencorong ini. Seorang penganut Hindu Brahma yang demikian fanatik, Nathuram Godse, dengan sepucuk pistol kecil, mengakhiri hidup Sang Mahatma Gandhi. 

Agaknya bagi penganut fanatik ini, kematian sang Mahatma, orang yang paling “mencintai kedamaian dan pembenci kekerasan” itu adalah penyelesaian cepat untuk memuaskan “ rasa benci”  yang telah melumuri pandangan hidupnya.

Tahun itu memang tahun yang demikian muram. Perang  Dunia II masih menyisahkan derita. Di negeri Sang Mahatma, atmosfir kebencian demikian pengap di udara. Kekerasan dan pembunuhan antara umat beragama seakan menguasai semua ruang publik. Hiruk pikuk yang demikian menciutkan hati. Dan di sana, Gandhi dengan kelembutan suara di balik tubuh yang ringkih itu menjelma menhadi sosok yang demikiam besar namun juga terasa ironis.

Sejarah perjuangan Gandhi memang demikian unik. Dia bagaikan Sidartha Gautama, sang pangeran yang menanggalkan kemewahan kerajaannya untuk sebuah “pertemuan” yang lebih agung dan menemukan keagungan itu sendiri. Gandhi adalah sebuah “sisi paling lembut” dari wajah kemanusiaan kita. Keyakinannya akan “sikap baik” manusia menjadikan dia terlihat demikian paradoks dengan zaman yang temuinya.

Namun itulah Sang Mahatma. Kehadirannya di bumi menjadi tonggak bahwa kemanusiaan kita pada sisinya yang terbaik pernah hadir dan menggoreskan kekuatan di sana. Barangkali, sejak semula Gandhi telah tahu bahwa perjuangan “tanpa kekerasan” adalah perjuangan melawan sisi paling gelap dari kemanusiaan kita. Sebuah perjuangan abadi yang tak mungkin dia selesaikan. Namun itulah Sang Mahatma, yang meyakini bahwa kehadiran manusia memang senantiasa ditandai dengan cinta dan kebaikan.

Tapi pistol kecil dari kebencian seorang fanatik kemudian mengakhiri hidupnya. Dan kita yakin, Sang Mahatma pasti telah memaafkan pembenci itu jauh sebelum dia menarik pelatuk pistolnya tepat di dada Sang Mahatma. Adakah yang lebih memerihkan dari semua kejadian ini? Entahlah. Namun Gandhi adalah sejarah tertinggi yang pernah dicapai oleh kemanusiaan kita. Di sana kita bisa sedikit menaruh harapan akan hadirnya rasa kedamaian dalam dunia yang telah banyak melumurkan darah dan kesedihan ini.

Gandhi menjadi demikian menggetarkan bukan karena “kemenangan”nya dalam sebuah pertarungan. Di saat-saat paling kritis dari sebuah negeri, Sang Mahatma hadir sebagai nilai yang demikian menjulang tinggi. Suara paling murni dari kemanusiaan kita di muka bumi ini: menaklukkan kebencian dan kekerasan dari hati manusia. Dan di sinilah pertarungan abadi itu terus berlangsung. Menjadi sebuah pertarungan yang kerap demikian melelahkan dan penuh godaan. Di sinilah “kemenangan” kemanusiaan Sang Mahatma. Kemenangan yang tidak dikalkulasi oleh seberapa besar kita mendapat apa, namun seberapa besar kita mencintai.* (penulis adalah jurnalis)